Sabtu, 23 Januari 2010

Totalitas Seorang Penulis Dalam Memerangi Kebathilan



Ketika pada 1987 saya memutuskan hidup dari menulis, orangtua saya mengingatkan, “Bagaimana kalau kamu kehabisan ide?” Saya sempat berpikir keras untuk menjawabnya. Lalu pertanyaan lain muncul lagi, “Kalau Allah mentakdirkan kamu kecelakaan, sehingga otakmu tidak bisa dipergunakan, bagaimana?” Begitutah orangtua saya, selalu menyuruh anak-anaknya berpikir luas, agar kalau terjadi sesuatu yang buruk terhadap diri kita, antisipasinya sudah kita siapkan. Itu bukan soal mendahului kehendak Allah SWT. Kami – anak-anaknya – diharuskan berpikir beberapa langkah ke depan.

Orangtua saya adalah guru. Awalnya mereka menyodorkan, bahwa jadi guru itu enak, karena di hari tua akan mendapatkan pensiun. Tapi, jadi penulis? Saya bisa memahami kekhawatiran orang tua, bahwa di Indonesia pada masa itu minat beli dan baca masyarakat pada buku-buku fiksi sangatlah kurang. Jawabannya, memilikipekerjaan tetap adalah yang terbaik. Urusan keluarga diselamatkan dulu, sehingga saya bisa berkonsentrasi menulis novel tanpa harus dibebani urusan dapur.

Saya pikir, ini adalah sebuah kompromi di era industri. Ya, saya memilih bekerja di dunia industri, sehingga idealisme saya bisa saya subsidi. Memiliki pekerjaan tetap bagi saya sama saja dengan memelihara mimpi memiliki penerbitan sendiri. Untuk kebahagiaan orang tua dan mendapat ridho dari mereka, saya memilih bekerja menjadi wartawan. Pekerjaan itu masih seputar dunia tulis- menulis. Saya betul-betul enjoy menjadi seorang wartawan, karena selain menulis breita, feature, juga tetap bisa menulis cerpen atau novel. Bahkan saya semakin banyak mempunya ide menulis fiksi dari berita-berita atau feature yang saya tulis.

Dari penghasilan bulanan yang tetap itu, saya masih bisa mensubsidi mimpi saya yang tertuda, membuat penerbitan sendiri (menerbitkan jurnal, antoloji puisi, serta koran lokal), walaupun tidak berumur panjang karena kendala SDM dan modal. Kini saya bekrja di RCTI sebagai creative team. Pekerjaan itu tetap tidak jauh dari dunia tulis-menulis yang sejak awal saya geluti. Setiap hari saya membuat usulan program dan mendiskusikannya. Bahkan di sela-sela waktu luang, saya masih bisa mengembangkan ide-ide itu menjadi novel.

Tanpa diduga, di awal September 2005 saya mendapat paket dari Mujahid Press. Saya sudah lama mengenal penerbitan dari Bandung selatan ini dengan buku “Kudung Gaul, Berjilbab tapi Telanjang” karya Abu al-Ghifari (nama pengarang ini sebetulnya pernah hendak saya pakai, karena anak ketiga saya bernama “Jordi Al Ghifary”). Lebih terkejut lagi saya, ketika di dalamnya selain ada buku-buku terbitan terbaru Mujahid, juga manuskrip calon buku berjudul “Peta Harta Karun: SuksesMengelola Penerbitan dengan Self Publishing” karya Toha Nasrudin S.Ag alias Abu Al- Ghifari.

Saya buka halaman demi halamannya dengan perasaan berdebar- debar. Mimpi saya yang tertunda; memiliki penerbitan sendiri mendesak- desak lagi, seolah hendak menjebol dinding dadaku! Bakal buku ini secara rinci menjelaskan perjuangan Toha mendirikan Mujahid Press dari awal (Toha menyebutnya “dari lumpur ke buku”). Saya betul-betul tercengang! Hanya dalam waktu tiga tahun, omzet Mujahid mencapai 5 milyar rupiah! Subhanallah!

Abu Al-Ghifari sudah mewujudkan keinginannya memiliki penerbitan sendiri (self publishing), sedangkan saya bertahun-tahun masih saja bermimpi memilikinya. Dan ketika saya membaca Bab III buku ini, bahwa jika mengikuti petunjuk di buku yang sedang Anda baca, lima atau sepuluh tahun ke depan penerbit yang saya impikan, insya Allah akan terwujud. Subhanallah, saya sangat antusias jadinya! Pesannya sangat sederhana, jika ingin memiliki penerbitan sendiri, apa pun latar pendidikannya, syaratnya ada dua; motivasi yang lebih (antusiasme) dan konsentrasi! Saya jadi ingat Sofia Ahmad, distributor sukses Tupperware Indonesia, yang percaya bahwa direct selling sesungguhnya bisa memberdayakan kaum perempuan Indonesia. Sofia sangat yakin, kalau kita fokus pada sesuatu yang kita geluti pasti bisa! Sedangkan Gede Prana mengingatkan, bahwa kunci keberhasilan seseorang itu terletak pada keyakinannya. “Walau pun sebetulnya potensinya rendah, tapi jika dibarengi dengan raksasa keyakinan, maka orang itu akan behasil. Tapi sebaliknya, potensi tinggi minus keyakinan, gagallah orang itu!” Rupanya itulah yang melekat pada seorang Toha; motivasi dan konsentrasi yang membuatnya merasa yakin, bahwa jika menerbitkan buku sendiri segala kendala klasik yang dialami penulis; misalnya jadi atau tidaknya buku diterbitkan, royalti yang macet, oplah yang tidak jelas, akan teratasi. Kata Toha, “Menerbitkan buku dengan penerbitan sendiri adalah jalan pintas terbaik.”
Sejak berdirinya Mujahid Press pada 2002 (didaftarkan ke notaris pada September 2003), Toha tidak pernah berpaling ke lain hati alias tetap pada koridor antusiasme dan konsentrasi! Hasilnya kini terlihat, omset Rp 5 Milyar! Siapa yang tidak tergiur? Bagi saya self publishing atau trend sebagai indi label sangatlah menantang. Kawan-kawan kita di Yogya sedang giat mengoptimalkan ini. Berbekal kantor ukuran kamar kost dan sebuah komputer, mereka meggempur penerbit-penerbit raksasa di Jakarta dan Bandung. “Supernova” karangan Dee dilahirkan dari spirit rahim self publishing. “Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan awalnya juga nge-brojol dari ibu bernama self publishing sebelum dicaplok ibu raksasa.

Toha sewaktu muda tak ubahnya saya sewaktu muda juga. Saat saya SMA, dengan mesin stensilan dan fotokopian membuat buku puisi. Spirit ingin menjadi boss kecil begitu kuat pada diri Toha, sehingga pada 2001 menerbitkan buku karangannya sendiri; Muslimah yang Kehilangan Harga Diri. Dengan modal Rp.1.500.000,- Toha mengerjakan semua prosedur percetakan sendirian; editing, setting, lay out secara manual dan mencari kertas murah. Kemudian dari kampungnya di Pameumpeuk ke Bandung untuk di-plate kertas. Toha pun mencari percetakan yang mau mencetak 1000 eksemplar saja dengan harga murah. Usai itu, Toha begadang menyatukan lembar perlembar halaman. Semuanya dikerjakan sendiri. Heroik! Mengingatkan saya pada kisah-kisah sukses seperti Ciputra, Bob Sadino, dan Lim Sioe Liong. Bermula dari yang kecil, kemudian jadi besar. Semuanya dibarengi dengan sikap sabar; berdoa dan berusaha. Allah tidak akan mengubah nasib seseorang, jika orang itu tidak berusaha.

Selain antusiasme dan konsentrasi, yaitu totalitas. Saya merasakan Toha memiliki totalitas itu sejak di usia belia, saat sekolah di tsanawiyah. Dia rela mengabiskan masa kecil dan remajanya di aliyah (Pesantren Persis Bandung) dengan berjualan kue dan tidur di teras mesjid, sementara teman-temannya bergembira. Betapa romantik dan heroik perjalanan hidupnya. Bukankah orang-orang besar dibentuk oleh penderitaan?

Di lingkungan para penulis Forum Lingkar Pena, saya mendengar Arlen arya Guci juga orang yang menderita. Bahkan sastrawan Johny Ariadinata pernah mengayuh becak dan jadi marbot mushola! Ya, penderitaan telah menempa seorang Toha menjadi manusia berbeda. Dan perpustakaan umum Bandung di Cikaundung berhasil menariknya menjadi manusia gila membaca. Saat di IAIN SGD Bandung, Toha menceburkan diri di penerbitan kampus. Sungguh, inilah cikal-bakal darinya untuk menggapai tangga kesuksesan.

Proses kreatifnya sudah dia lakukan sejak masa kecil; saat dengan kaki telanjang menjajakan kue kampung; bala-bala, perkedel, dan pisang goreng. Saya mulai memahami, bahwa Mujahid Press bukanlah keinginan Toha dalam wakut semalam, lalu… sim salabim.. jadilah ia! Tapi, Mujahid Press adalah pergulatan dan totalitas seorang Toha sepanjang hidupnya.
Saya ingin mengikuti langkahnya. Dan kita semua harus berada di sekelilingnya, mendoakannya selalu, karena Mujahid Press bagi Toha bukan semata-mata menumpuk harta, tapi berdakwah dan berjihad lewat tulisan di dalamnya. Perang melawan kebatilan sudah ditunjukkan Toha, ketika dia menolak harus memberi uang pelicin sebesar Rp 6 jt untuk jadi guru SMP dan Rp 8 jt jadi guru SMA. Mari! "



Gola Gong
Ketua Umum Rumah Dunia, pusat belajar bagi anak-anak, pelajar, dan mahasiswa di Komplek Hegar Alam, Kampung Ciloang, Serang- Banten

Untuk Download Silahkan Klik


0 komentar: